Kamis, 09 Februari 2012

IKRAR ANTI KORUPSI

Deklarasi Anti Korupsi

Kami mahasiswa berjanji akan menjunjung tinggi integritas selama hayat ini masih di kandung badan

Kami, mahasiswa akan menjalankan idealisme selama bumi pertiwi masih tegak berdiri

Kami mahasiswa, berjanji akan menjunjung tinggi kejujuran dalam setiap kata yang terucap

Kami mahasiswa, berjanji akan mengharamkan korupsi dalam segala tindakan kami

Demikian pernyataan ini kami nyatakan

Semoga Allah SWT, Tuhan YME meridhoi langkah kami

Untuk Indonesia yang lebih baik

Jayalah selalu Indonesiaku


Atas nama Mahasiswa Indonesia

AGUNG RIZKI



JANJI TIDAK KORUPSI

Saya Agung Rizki, bersumpah akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk TIDAK melakukan tindak pidana KORUPSI dalam hidup saya.


I swear NOT to do CORRUPTION in my entire life.

أقسم لا تفعل الفساد في حياتي كلها.

我发誓不要我的整个生活腐败

Ik zweer NIET om de corruptie te doen in mijn hele leven.

Je jure de ne PAS faire CORRUPTION dans toute ma vie.

私は全体の生活の中で汚職を行わないように誓う

Te juro que NO debes hacer CORRUPCIÓN en toda mi vida.

ฉันสาบานที่จะไม่ทำทุจริตในชีวิตทั้งหมดของฉัน


Tangerang, 9 Februari 2012

Agung Rizki

Senin, 30 Januari 2012

sosok yang patut diteladani :)



Assalamualaikum wr. wb.
                Di sini saya akan membahas mengenai  beberapa figur yang dapat dijadikan contoh dalam birokrasi si Indonesia, terutama menjadi contoh bagi setiap pegawai pemerintahan dan mahasiswa stan yang kelak akan menjadi birokrat birokrat di Indonesia. Tokoh yang saya ambil ini adalah sosok yang berbeda dari kebanyakan orang di lingkungannya, beliau beliau ini berani bersikap beda dan memegang teguh prinsip yang ia anggap benar.
1.       (Alm) Hoegeng Iman Santoso
Dimulai dari sosok yang pertama adalah (Alm) Hoegeng Iman Santoso, Kapolri di tahun 1968-1971 dan ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat sebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Jenderal ringkih kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah pada 14 Oktober 1921, pantas di ulang tanpa lelah sebagai sebuah contoh bagi kita semua. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun.salah satu bentuk kejujuran beliau antara lain:
Pada saat mendiang Presiden Soekarno menunjuknya sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Sehari sebelum pelantikannya, Pak Hoegeng meminta istri, Ibu Merry agar menutup segera toko kembang miliknya yang terletak di sebuah sudut Jalan Cikini. Padahal toko kembang itu, salahsatu penopang tambahan kebutuhan hidupnya. Sungguh kontras memang. Jabatan bagi Pak Hoegeng bukan soal lahan bancakan. Jabatan hanya sebagai lahan pengabdian dan ibadah, titik! 
Kembali ke soal toko kembang. Waktu itu sang Istri sedikit protes dan bertanya, "Apa hubungannya toko kembang dengan jabatan Kepala Jawatan Imigrasi?" Pak Hoegeng menjawab kalem tapi tegas, "Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kita dan itu tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya."
Jawaban itu, sungguh sangat mengharukan.  Sebuah sikap tegas yang dibarengi sikap sederhana. Padahal kalau berkenan, tinggal membalik tangan Pak Hoegeng kaya dari jabatan. Pelajaran yang begitu berharga tentang sikap anti nepotisme dari petinggi polisi yang dilahirkan di kota Batik, Pekalongan. Yang menarik sang istri kemudian menutup toko itu. Dia mengerti sikap tegas suaminya. Dia paham Pak Hoegeng sangat keras menolak aji mumpung pangkat dan jabatan. Mungkin juga, karena itu Ibu Merry jatuh cinta. Mungkin..
Selain itu ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja. Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. ” Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.,Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.
Masih dari kisah jabatan Kepala Jawatan Imigrasi. Karena jabatan itu, Pak Hoegeng mendapat jatah mobil dinas keluaran baru. Tapi anehnya, dia masih bersikukuh dengan mobil  dinas lawas, jatahnya saat masih di bertugas di kepolisian. Dia berkilah, mobil jip lawas dari Kepolisian  juga milik negara. Dirinya merasa cukup dengan itu selama masih layak dipergunakan dan tidak sertamerta karena jabatan, terus manja dan rakus.  Soal aji mumpung jauh dari sifatnya. Apalagi mengail di air keruh. Pak Hoegeng jauh dari laku seperti itu. 
Sebagai polisi, Pak Hoegeng adalah sosok tegas membaja. Polisi dimatanya penegak hukum, titik! Tidak ada kompromi. Tidak ada bagi-bagi hasil dibawah tangan. Apalagi soal salam tempel amplop berisi duit jual kasus. Karena sikap seperti itulah dia terpental dari jabatan elit kepolisian Indonesia yang di pegangnya antara 1968-1971.
Kala itu, Pak Hoegeng mengungkap kasus penyelundupan mobil kelas kakap yang dilakukan oleh Robby Cahyadi. Si pelaku di sebut punya kaitan dengan kalangan istana. Tapi betapa kecewanya, saat dia akan melaporkan itu ke Presiden, sang buruan sedang asyik bercengkrama di Cendana.  Ternyata benar, kekuasaan kongkalikong dengan keculasan. Jelas karena itu Sang Jenderal murka. Sejak saat itu, pupus sudah kepercayaan kepada kekuasaan. Pun pada pucuk pimpinan negara bernama Soeharto.
Karena itu pula, Pak Hoegeng diberhentikan sebagai Kapolri sebelum masa jabatannya habis.  Tepatnya  1970, Soeharto mencopot jabatan itu dari pundak Pak Hoegeng dengan alasan regenerasi. Tapi aneh, penggantinya, Muhammad Hassan. Justru lebih tua darinya. Artinya dia menyadari, kekuasaan sudsah tidak suka sepak terjang membenahi korps kepolisian. Sebagai penghibur, Pak Hoegeng ditawari jabatan sebagi duta besar di Belgia. Tapi Pak Hoegeng menampik. 
Dia menukas tegas soal penolakan tawaran tersebut, "Saya tidak punya keterampilan basa-basi seorang duta besar!". Mungkin penolakan tersebut sebentuk resistensi yang tumbuh menguat dalam dirinya. Karena selepas itu, dia mulai mengambil posisi bersebrangan dengan kekuasaan. Dia mencoba memberi batas semakin tegas dengan wajah kekuasaan. Bersama Jenderal (Purn) Nasution dan Proklamator Bung Hatta, dia aktif di Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB). Sebuah lembaga yang mencoba memuat suara lain diluar tubuh negara tentang bagaimana berkonstitusi  dengan suara hati nurani.
Sepertinya kejengkelan penguasa pada Pak Hoegeng yang tidak kunjung manut tidak juga hilang. Saking jengkelnya, ada cerita soal ini. selepas pensiun Pak Hoegeng menyalurkan hobi menyanyi di TVRI lewat kelompok Hawaian Seniors. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kemudian muncul larangan tampil bagi Pak Hoegeng di layar televisi plat merah tersebut. Pastinya Soeharto sudah sangat jengkel, maka setiap ruang rambah Pak Hoegeng coba di sumbatnya. Pun untuk sekedar tarik suara.Tidak berhenti karena di sumbat dilayar kaca. Pak Hoegeng menempuh jalur lain. 
Mulai dari Mei 1980 Pak Hoegeng bergabung dalam kelompok petisi lima puluh. Sebuah kelompok yang menyuarakan keprihatinan terhadap tindak-tanduk penyelenggaraan kekuasaan negara saat itu. Dalam kelompok tersebut memang bergabung beberapa pensiunan pejabat polisi dan militer, disamping tokoh-tokoh sipil lainnya. Seperti Letjen Marinir (Purn) Ali Sadikin dan HR. Darsono, Mantan Pangdam Siliwangi. 
Keterlibatan di kelompok Petisi 50, berbuah cekal bagi Pak Hoegeng. Itu sepertinya biasa bagi  Mantan Kapolri dan penganjur pertama pemakaian helm bagi pengendara sepeda motor di Indonesia tersebut. Jenderal polisi yang dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), bahkan sering turun ke lapangan. Syahdan, Pak Hoegeng, lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952), memimpin langsung operasi balapan liar di sekitar jalan Taman Soerapati, Jakarta, sekitar tahun 70an. Kepada anak buahnya dia berkata tegas, "Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!".
Kisah lainnya masih tentang ketegasan tanpa tedeng aling-aling. Ceritanya di kota Medan, seorang pejabat baru kepolisian bikin geger. Seorang Kepala Reskrim  baru pindahan dari Jawa Timur, menolak keras hadiah dari para cukong. Padahal nilainya menggiurkan. Perabotan luks dikirim ke kediaman Reskrim baru tersebut. Kota itu memang marak dengan kisah para cukong penyelundupan yang makmur juga tebaran lapak judi dimana-mana. Kiriman sogok itulah yang dimaksudkan untuk membungkam aparat. Tapi kali ini meleset, si aparat baru meradang karena di sogok. 
Kiriman itu bahkan dibuangnya di pinggir jalan. Kita pada akhirnya mencatat, siapa sosok nekad tersebut. Namanya Hoegeng Imam Santoso. Kelak nama itu kita kenang sebagai tonggak kejujuran  yang sederhana. Berbanggalah Kepolisian Republik ini, mempunyai tokoh komplet seperti Pak Hoegeng. 
Bahkan saking sederhananya. Lepas dari Medan, Pak Hoegeng kembali ke Jakarta. Karena belum dapat rumah tinggal, dia menumpang di garasi mertuanya di daerah Menteng. Padahal dia bekas Kepala Reskrim. Teramat langka memang sikap hidup seperti Pak Hoegeng. Beragam tugas pernah diemban, bapak yang dikarunia tiga anak tersebut diluar dari tugasnya sebagai polisi. Mulai dari Kepala Jawatan Imigrasi (1960-1965), Menteri Iuran Negara (1966-1967) dan Deputi Operasi Menpangak (1967-1968).
Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500!

Tengah malam lewat setengah jam, Pak Hoegeng menghembus nafas terakhir. Setelah dirawat intensif di RS Polri Kramat Jati karena Stroke, penyumbatan pembuluh darah dan pendarahan bagian lambung. Tuhan berkehendak lain. Kabar terpetik, Sang Jenderal pun mangkat di RSCM, Jakarta. Simbol keteladanan dan kejujuran Polri tersebut meninggalkan tanah air yang teramat dicintainya.  
Kita menundukan kepala. Merunduk ke tanah sembari ingatan  terus mencatat. Yang datang pastinya dibatasi kepergian. Pun soal memiliki pasti ada interupsi soal kehilangan. Tengah malam lewat, tepatnya pukul  00.30 WIB, Jenderal sederhana itu pergi. Bahkan untuk pemakamannya, Pak Hoegeng mewanti-wanti, kelak kalau meninggalkan, dirinya tidak ingin dikebumikan di Kalibata, makam para pahlawan nasional. 
Dirinya ingin dimakamkan di pemakaman biasa. Pada akhirnya, TPU Giritama, Desa Tonjong, Bojong Gede, Bogor, dipilih sebagai tempat peristirahatannya terakhir. Dan kebetulan tidak jauh dari Citayam, tempat saya tinggal. Sekitar pukul 14.00 WIB, jenazah Jenderal ringkih menyatu dengan tanah. Sudah habis tugas kesejarahannya. Yang tertinggal mungkin cuma jejak. Mudahan-mudahan ingatan bangsa tidak dikalahkan lupa, bahwa bangsa ini pernah memiliki polisi yang tahu arti kejujuran. Selamat jalan Pak Hoegeng.
Setelah membaca kisah hidup Pak Hoegeng ini, jujur, dari lubuk hat saya yang paling dalam saya sangat terharu dengan perjuangan beliau untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya benar, beliau berprinsip kuat, jujur, tidak takut akan penguasa dan sunguh sungguh sangat patut untuk di contoh oleh kita semua J
2.        Ismail Najib (Pegawai Pajak)
Sosok yang kedua adalah (Alm) Ismail Najib. Saya pertama kali membaca kisah ini beberapa saat setelah mencuatnya kasus Gayus di muka publik. Pada saat itu, kementrian keuangan, Direktorat Jendral Pajak pada khususnya menjadi sorotan di berbagai media masa karena  kasus Gayus tersebut. Banyak pegawai pajak yang ikut terkena imbasnya, mereka mendapat stigma negatif di mata masyarakat karena banyak masyarakat yang mengeneralisir suatu masalah dan menganggap semua pegawai pajak sama saja seperti Gayus, padahal tidak demikian. Bahkan ada pihak pihak yang malah ikut menyalahkan almamater dari si Gayus tersebut karena dianggap telah mencetak koruptor seperti dia.
Berikut adalah tulisan dari istrinya yang menulis mengenai sedikit kisah hidupnya yang dapat diambil nilai-nilai dari sikap dan perbuatannya oleh kita semua:
Saya temukan sosok ideal pegawai pajak pada mendiang suami saya. Hanya Allah pemilik kesempurnaan, dan Allah menciptakan sosok yang hampir sempurna bagi saya dan anak-anak. Ismail Najib nama lengkapnya. Ia terlahir dari keluarga yang sederhana di pelosok Jambi. “Ayah,” kami biasa memanggilnya. Ibunya, mertua saya, memanggilnya Mael. Teman kantornya memanggilnya Najib –atau Pak Najib.
Abang pergi mendahului kami. Ia menitipkan tiga buah-hati kami. Dafi Muhammad Faruq, putra, umur enam tahun, kini kelas satu SD. Adiknya, dua putri cantik kami, Kayyisah Zhillan Zhaliila, usia tiga tahun dan Mazaya Hasina Najib, tiga bulan. Ketika Abang mangkat pada 21 Februari 2011, si bungsu masih dalam kandungan empat bulan. Meski telah pergi, Abang mendidik saya menjadi orang kuat dan mandiri. Dengan kondisi long distance, saya memilih homebase di Kota Kembang demi pendidikan anak anak. Dengan bekal ilmu agama yang Almarhum berikan, sekarang saya menjadi tahu apa itu arti syukur, ikhlas, dan tawakal. Itulah yang membuat saya harus bangkit menyikapi keadaan ini.
Pegawai Pajak, pekerjaan yang luar biasa “banyak godaannya”. Abang memberikan pengertian pada saya bahwa materi yang identik melekat dengan pegawai Pajak, jangan menjadi patokan kebahagiaan dan kesenangan. Karena, tidak semua orang Pajak bermateri (saat itu saya tidak mengerti apa maksudnya). Hingga sekitar 2005, Abang mengutarakan puncak kegundahannya. Setelah bekerja selama satu dekade , kebimbangan itu pun terucap, “Bunda, Ayah takut apa Ayah sudah menafkahi keluarga ini dengan halal?” ia bertanya kepada saya. Banyak pandangan negatif terhadap pegawai Pajak saat itu –bahkan hingga kini. Saya bekerja di satu bank BUMN. Banyak nasabah dan teman seprofesi yang “curhat” tentang tindak-tanduk pegawai Pajak dan betapa ribetnya mengurus pajak –waktu itu, sebelum modern.
Kami melihat kenyataan bahwa saat itu ada pegawai pelaksana yang punya rumah dan mobil mewah. Abang seorang kepala seksi, dan kondisi itu yang membuat Abang sering memberi pengertian pada saya. Sebagai seorang istri pegawai Pajak, saya harus hidup sederhana dengan gaji sebagai PNS. “Jangan pernah terpengaruh dan mempengaruhi suami untuk mendapatkan sesuatu yang tidak halal,” Abang memberi nasihat.
“Apa gaji yang ayah terima ini halal?” kembali ia gusar. “Nafkahilah keluarga ini dengan keringatmu. Bun percaya Ayah akan memberikan yang terbaik untuk kami,” jawab saya.
“Kira kira bagaimana jika Ayah keluar saja? Jadi guru ngaji,” tuturnya membulatkan tekad. Matanya berlinang. Saya pun ikut menangis saat itu.
“Ayah, apa gak mau lingkungan Ayah jadi lebih baik? Kalau Ayah mundur sekarang, gak ada perubahan di Pajak. Ayah harus mengubah kebiasaan itu. Pajak memerlukan orang seperti Ayah untuk bisa berubah. Ayah pasti bisa,” tutur saya menyambung percakapan waktu itu.
“Iya yah, Bun,” jawabnya. Kegelisahan itu akhirnya terjawab dengan modernisasi dan reformasi birokrasi DJP. Pada 2006, sampailah juga gelombang kantor modern di Jawa Tengah –waktu itu Abang dinas di Pekalongan.
Loyalitas dan dedikasinya yang tinggi tak diragukan. Saya acungi jempol. Saya ingat, saat itu saya sedang hamil enam bulan anak pertama. Tatkala terkena pengristalan batu ginjal, ia masih bekerja larut hingga hampir pingsan di sebuah klinik di Pekalongan. Opname yang dianjurkan dokter tak dihiraukannya. Saat itu hari-hari akhir penerimaan SPT wajib pajak. Operasi “tembak” adalah solusi yang kami pilih karena bisa lebih cepat pulih dan tidak usah dilakukan pembedahan. Saran dokter, opname selama dua minggu. Namun, bedrest hanya bertahan tiga hari. Kala itu belum ada mesin absen fingerprint. Masih serba manual dengan tanda tangan. “Titip absen saja, kenapa?” saya saking kesalnya memberi saran. “Lagi sakit kok mikirin kerjaan, gimana bisa orang sakit kerjanya maksimal?” Abang hanya tersenyum mendengar kekesalan saya. Alhasil, dengan keadaan yang masih lemas, ia tetap kerja. “Sakit itu ujian dari Allah. Harus kita nikmati,dan jangan mengeluh,” jawabnya simpel.
Tiga tahun tugas di Pekalongan dilalui dengan baik. Lalu, Abang mutasi ke Palembang. Satu sisi lebih jauh dengan kami. Tapi di sisi lain, lebih dekat dengan kampung halamannya. Alhamdulillah, Agustus 2010, kami didekatkan. Abang mutasi di Kantor Pelayanan Pajak BUMN, kantor pajak dengan penerimaan terbesar, yang perlu effort lebih tentunya. Saya hanya bisa berdoa agar setiap langkah yang Abang ambil adalah yang terbaik. Saya dan Ibunda tercinta –mertua saya–
mengkhawatirkannya. Semoga ia selalu sehat dan jauh dari “godaan”. Setiap minggu Ibunda selalu mengingatkan, “Mael, hati-hati dalam setiap memutuskan sesuatu. Jadilah orang yang jujur dan jangan sampai tergoda dengan duniawi ya.”
“Kenapa suamimu gak minta pindah di Bandung saja? Kan bisa lewat Si Anu. Yah, minimal setor satu Kijang lah,” salah satu teman saya yang suaminya juga di Pajak mengipas-kipasi. Saya tak tahu maksud ucapannya, apakah ia bercanda atau serius. Dan seperti biasanya, ia hanya tersenyum saat saya ceritakan hal itu. “Sudah, gak usah dipikir. Allah punya rencana yang lebih indah untuk kita. Yah kita berdoa saja. Sekarang Pajak sudah modern udah gak perlu kayak gitu lagi kok. Yang penting kerja kita bagus. Apapun yang kita lakukan karena Allah. Malah jadi ibadah kan?”
Ketika kasus Gayus terekspos, tentu ini mengecewakan banyak pihak yang telah bekerja keras. Di satu sisi justru suami saya senang. “Pada akhirnya, biarlah yang benar yang akan menang,” tuturnya. Di sisi lain, kita harus membuktikan bahwa tidak semua orang Pajak seperti Gayus. “Orang Pajak sekarang beda dengan yang dulu. Sudah modern, sudah tidak ada lagi ‘kebiasaan’ Itu,” tuturnya yakin. Secara tidak langsung saya pun ikut menjadi “jubir” bagi teman-teman di lingkungan saya. Kebiasaan Abang yang lain adalah ingin perfeksionis. Ia ingin segala hal sempurna, rapi, dan sangat teliti. Tak mau meninggalkan cela pada pekerjaannya. Contoh kecil saja, saya kalah bila harus menyetrika bajunya. Tanpa menyakiti hati saya, ia bilang lebih puas dengan hasil setrika sendiri.
Februari 2011, Abang mengemban amanat, jadi satu anggota tim yang menyusun sebuah buku coaching di Kantor Pusat. Ia siap mengutarakan sejumlah gagasan untuk penyempurnaan program itu. Sayang, dalam perjalanan menuju medan tugas itu, Abang menyongsong takdirnya. Satu titik dalam sebuah periode yang mengubah total kehidupan saya dan anak-anak.
Dari kisah kedua tadi terdapat sikap sikap dari alm yang dapat kita teladani, beliau memiliki tekat dan prinsip yang kuat untuk senantiasa bekerja untuk sukses di dunia maupun akhirat. Bukan hanya mengejar dunia, tapi alm senantiasa memberikan pengaruh yang positif di lingkungan kerja serta di lingkungan keluarnya.   Selain itu beliau juga mempunyai tekad untuk memperbaiki system yang ada saat itu, alm berani melawan arus dimana saat belum ada reformasi birokrasi di bidang perpajakan, banyak sekali praktik-praktik kecurangan yang terjadi tapi beliau tidak tergoda dan tetap di jalur yang di ridhoi oleh Alllah SWT.
Semoga saja saya bisa konsisten hidup dengan meneladani sifat sifat positif yang dimiliki oleh beliau beliau ini, bisa meneruskan semangat mereka untuk menegakkan kebenaran, tidak pandang bulu, tidak peduli siapa yang dihadapinya, menjadi birokrat yang bisa memperbaiki keadaan bangsa ini yang menurut saya sedang mengalami krisis akan orang baik, dimana orang baik kalah dominan oleh orang orang yang memiliki kepentingan, dan semoga saya masih diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk berkontribusi secara riil dalam pembangunan serta memberi pengaruh yang positif kepada orang di sekitar saya, baik di lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, pergaulan bahkan di Negara ini. Amin
Wassalamualaikum wr. wb
Sumber:
http://sepedakwitang.wordpress.com/2011/12/08/kekasihku-pergi-saat-berjihad-kisah-pegawai-pajak/

Selasa, 10 Januari 2012

Teladan yang baik, semoga itu bukan "topeng" :)

Kalau ditanya masih ada ngga sih orang baik di Indonesia ini? jawabannya itu ya pasti ada. tapi yang susah itu ya cara membedakan mana orang baik mana yang ngga, kadang seseorang kalau dilihat dari penampilannya keliatan baik, tapi aslinya ngga. begitu juga sebaliknya ada yang penampilannya keliatan seperti orang jahat, padahal dia orang baik. Oleh karena itu ada istilah "don't judge a book by the cover".

Selain itu kita ini hidup di dunia yang penuh dengan kepalsuan dan penuh sandiwara, seseorang bisa saja terlihat manis di depan kita padahal aslinya busuk. Nah mungkin alasan ini juga yang buat salah satu iklan rokok yang ada di TV swasta nasional membuat iklan dimana semua orang memakai topeng tapi tokoh di iklan itu melepas topeng yang dipakainya, lalu ada slogan  "yang lain bersandiwara, gue apa adanya" kaya gini nih:
gmn? ngena banget kan sama kehidupan kita sehari hari. gue begitu liat iklan ini langsung mikir, kadang kita itu emang hidup penuh sandiwara. misal, disadari atau tidak demi mendapatkan citra baik didepan orang yang kita suka, kita akan berusaha mati matian buat menunjukkan sisi baik kita bahkan bersandiwara sesuai dengan minat dan kesukaan si target. otomatis kita ya sama aja kaya di iklan itu "bertopeng" 

ngomong masalah topeng, pasti berkaitan juga sama para pemimpin pemimpin kita yang keliatan baik di depan tapi aslinya kan ya mana ada yang tau. jangan jangan selama ini yang meraka tampilkan di publik itu hanya topeng dan pencitraan semata. tadi siang gue dapet tugas dari dosen buat nyari teladan dari birokrasi yg bisa dicontoh, dari tugas itu gue berdoa semoga aja tokoh yang gue tulis itu beneran tokoh yang baik bukan tokoh yang "bertopeng"

setelah mencari link demi link akhirnya gue nemu satu tokoh yang keliatannya cukup baik, bisa dijadikan teladan, beliau adalah Abdullah Hehamahua, SH, MM pria yang lahir di Iha, Saparua, Ambon, Maluku, pada 1 Januari 1970 memiliki kebiasaan menarik, Gaya berpakaian Abdullah Hehamahua masih seperti dulu: baju batik lengan panjang dan songkok hitam. Demikian pula kedisiplinan dirinya dalam memanfaatkan fasilitas negara yang diterimanya sebagai pejabat KPK. Misalnya, jangan bayangkan bisa berbincang dengannya di ruang kerja saat jam-jam efektif. Apalagi untuk urusan tak terkait tugas KPK.


Abdullah berprinsip, menghindari korupsi itu harus dimulai dari hal-hal kecil. Meski resepsionis sudah membuatkan surat pengantar untuk bisa menemui di ruangannya, bapak empat anak tersebut memilih mengajak turun ke ruang tunggu di lantai satu. Selain ruang tunggu di lantai satu, untuk menemui tamu yang terkait dengan urusan pribadi, ada tempat lain yang biasa dipilih Abdullah. Yakni, musala gedung Jasa Raharja yang bersebelahan dengan gedung KPK. Itu pun pada jam istirahat.


Abdullah mengakui, pilihannya untuk kembali mengabdi ke KPK itu tak sesuai dengan keinginan keluarga. Bahkan, empat anaknya sudah melarang dia mencalonkan diri menjadi penasihat lagi. Namun, dia kembali terpanggil karena korupsi tak pernah habis.


Saat kasus kasus Al Amin Nasution (anggota DPR dari PPP) terungkap, dia sempat berpikir orang makin takut melakukan korupsi. "Tapi, kenyataannya, justru berganti modus operandi dengan tertangkapnya anggota DPR (dari Fraksi Bintang Reformasi) Bulyan Royan," katanya. Bahkan, setelah itu muncul lagi kasus korupsi dengan tersangka anggota DPR Abdul Hadi Djamal dari PAN.


Di KPK, tugas Abdullah memang tidak kecil. Setiap Senin dan Jumat, dia selalu memberikan surat elektronik (e-mail) kepada semua anak buahnya di komisi. Pertama, menyangkut tugas mereka memberantas korupsi. Kedua, nasihat spiritual. "Kalau mereka muslim, saya berikan nasihat berdasarkan ajarannya," katanya.


Demikian pula bagi para anggota beragama kristiani, Abdullah bisa memberikan petuah berdasar Alkitab. Meski muslim, dia mengaku pernah 12 tahun belajar kitab suci itu di tanah kelahirannya di Saparua, Ambon.


Meski mengemban tugas mulia bagi negara, lanjut Abdullah, sebagai manusia, anggota KPK kadang diliputi pertentangan batin. Yang paling baru, dia memberikan nasihat kepada penyidik tentang langkah penyadapan kepada para tersangka yang menjadi target operasi kasus korupsi. "Bagi anggota yang muslim, penyadapan yang diperdengarkan ke muka publik (pengadilan) tentu dianggap membuka aib orang," kata pria dengan jenggot lebat memutih itu.


Menghadapi dilema itu, Abdullah "berfatwa" bahwa penyadapan boleh dibuka kalau terdakwa korupsi mengingkari semua perbuatannya. "Maka, sekarang ditawarkan apakah mereka (tersangka korupsi) mengakui perbuatannya atau tidak. Kalau membantah, maka buka saja penyadapan itu," tambahnya.


Dalam dua periode masa tugasnya, Abdullah mengaku sudah banyak memberikan kontribusi bagi tugas KPK. Pada masa awal berdirinya lembaga antikorupsi itu, dia ikut turun tangan menyusun nilai identitas KPK, kode etik, standar prosedur operasi. Namun, di fase kedua jabatannya, dia bertugas menjembatani komunikasi pimpinan satu dengan lainnya.


"Tugas saya menjembatani bahwa keputusan yang diambil KPK adalah kolegial," jelasnya. Artinya, tak ada satu pun peran pimpinan yang menonjol dalam pengambilan keputusan.


Sebagai mantan ketua PB HMI, Abdullah merasa prihatin karena banyak terdakwa korupsi yang kini ditangani KPK adalah para mantan aktivis organisasi mahasiswa. Kebanyakan HMI. Tentu ini juga menjadi pertentangan batin tersendiri. Saat Amirudin Maula, wali kota Makassar yang dulunya kader HMI, disidik KPK karena dugaan korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran, dia sering ditelepon para aktivis HMI. Mereka merayu agar jangan sampai Amirudin masuk bui.


"Saya jawab, semoga dengan masuk penjara bisa menjadi tempat untuk bertobat," jelasnya. ''Sebagai senior, lebih baik saya yang menghukum daripada harus orang lain. Itu lebih menyakitkan," tambahnya.


Meski punya peran sentral di KPK, hidup Abdullah tergolong sederhana bagi orang sekelasnya. Sebagai penasihat, Abdullah menerima gaji Rp 30 juta-Rp 35 juta per bulan. "Gaji yang saya terima naik turun di kisaran itu, tergantung kontribusi dan prestasi yang saya raih di KPK," jelasnya.


Tiga tahun belakangan, pulang-pergi ke kantor, Abdullah mengendarai mobil Toyota Avanza. Uang muka mobil (Rp 50 juta) tersebut diambilkan dari tabungan Rp 40 juta dan pinjaman seorang teman. Setiap masuk kantor, Abdullah selalu menjinjing tas kulit warna hitam berisi dokumen pekerjaannya. "Semua ini produk dalam negeri," ujarnya.


Kesederhanaan memang sudah menjadi prinsip hidup mantan ketua Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu. tanah plus rumahnya di perkampungan Rawa Denok, Depok, tepatnya di Jl H Kimah, Rangkapan Jaya Baru, yang dibeli seharga Rp 90 juta, baru lunas setahun lalu.


"Kalau cerita alamat, susah. rumah saya itu benar-benar di tengah perkampungan," katanya.


Ketika Jawa Pos bersikeras mengatakan akan mengunjungi rumahnya, Abdullah lalu memberikan kiat cara cepat mencari rumahnya. "Cari saja tuan tanah H Edy di daerah Rawa Denok. Dia akan memberi tahu. Sebab, saya beli rumah itu dari dia," jelasnya.


Dulu, Abdullah memang pernah punya rumah di Jalan Tambak Manggarai, Jakarta Selatan. Namun, saat dirinya dikejar-kejar aparat keamanan di masa Orde Baru karena diduga terkait kasus Tanjung Priok, rumah itu mengalami musibah kebakaran.


Sebagai penasihat KPK, Abdullah terdorong untuk memberikan contoh hidup sederhana kepada para anak buahnya. Maka, dia pun memilih indekos di Jalan Bukit Duri. Setelah itu, dia mengontrak rumah dua kamar di kawasan Jalan Al Barkah, kompleks Masjid As-Syafiiyah di kawasan Menteng Pulo, Jakarta Pusat.


"Saya mengontrak rumah karena kamar mandi rumah kos yang dulu ada di luar. Istri saya jadi kerepotan harus pasang kerudung kalau mau ke kamar mandi," bebernya.


Meski namanya amat tersohor di KPK, Abdullah tak begitu dikenal di kompleks rumah kontrakannya itu. Saat menanyakan sosok Abdullah Hehamahua kepada warga sekitar, Jawa Pos harus bicara panjang lebar untuk menerangkan ciri-ciri fisik Abdullah. Ternyata di kawasan itu dia akrab dipanggil Pak Haji. Tak ada yang tahu bahwa dia adalah orang penting di KPK. Soal ini, dia berdalih. "Saya memang tak bercerita di mana saya bekerja. Ini karena saya bertugas di KPK," kata suami Emma Arifin itu. 


cukup menarik bukan? hidup sederhana, rendah hati, taat agama, sosok pemimpin yang ideal. saya harap banyak petinggi petinggi di indonesia meniru sifat sifat beliau ini, biar Indonesia cepat maju! korupsi bisa makin berkurang dan rakyat makin sejahtera :)




sumber: cerita biodata 


Selamat Datang Kembali!

yap, beruhubung blog saya yang lama sudah hilang entah kemana, lupa password dan segala macamnnya jadi mending kita mulai menulis lagi, di lapak yang baru, dan akhirnya saya buat blog baru yang ini :)
sebenarnya, ada alasan lain juga sih kenapa gue yang notabenenya udah males nulis dan sudah terperangkap dalam dunia yg banyak orang bilang ini namanya dunia maya yang bikin nagih. alasan itu adalah ada salah satu dosen yang minta alamat blog, nah karena blog yang lama sudah ngga bisa dibuka maka mulailah saya nulis lagi, hitung hitung berbagi pengalaman, sekaligus latihan mengetik, kan sebentar lagi mau buat laporan pkl yg tentunya bakal ngetik yang lumayan banyak :p